BAB I
PENDAHULUAN
Aktifitas tahlil dalam masyarakat muslim
Indonesia sudah dikenal dan beredar sejak lama. Hal tersebut berkaitan dengan
makna tahlil itu sendiri, yaitu
kegiatan menyebut asma Allah atau berdzikir. Tujuan utama dari tahlil adalah
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun, keberadaan tahlil ternyata
memunculkan banyak permasalahan. Di samping persoaalan teologis, muncul juga
persoaalanyang berkaitan dengan materi, urut-urutan dan variasi, serta tradisi
sosio-kultural yang menyertai.
Secara historis keberadaan tahlil pada dasarnya
tidak terlepas dari tradisi tarekat yaitu sebuah tradisi yang dikrembangkan
oleh organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini berpandangan
bahwa tahlil adalah bagian dari metode untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pandangan
ini berpangkal pada tradisi tarekat yang dianutnya. Implikasinya, tahlil
kemudian muncul sebagai identitas dan ciri dari keagamaan warga NU. Sebaliknya,
Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang berifat modernis beranggapan
bahwa kegiatan tahlil merupakan kegiatan bid’ah
(mendekati haram) karena itu sebaiknya ditinggalakan.
Adanya perbedaan paham mengenai keberadaan tahlil
inilah yang kemudian memicu munculnya berbagi ketegangan antara penganut NU dan
Muhammadiyah. Dengan demikian, dapat disebutkan bahwa salah satu sumber konflik
antara Muhammadiyah dengan NU di antaranya adalah masalah tahlil.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tahlil
Pengertian tahlil secara umum,
tahlil secara bahasa adalah ucapan “laaillaha illallah” yang artinya tiada
tuhan melainkan Allah, bacaan ini sering dilakukan seorang muslim atau muslimah
ketika selesai melaksanakan shalatfardhu, seperti shalat isya, shubuh, dzuhur,
ashar dan maghrib dan shalat-shalat sunnah yang sering dianjurkan oleh Nabi
Muhammad SAW.Bacaan tahlil sering dilanjutkan oleh bacaan-bacaan yang lainnya
yaitu bacaan tasbih, tahmid. Pengertian tahlil secara khusus adalah tahlilan
yaitu do’a do’a yang dipanjatkan secara bersama-sama untuk men do’a kan orang
yang sudah meninggal, hal ini tidak hanya bacaan tahlil tetapi diikuti atau
dilengkapi oleh bacaan yang dianjurkan oleh para ulama yaitu bacaan Fatihah
atau Surat Al-Fatihah, Surat Al-Ikhlas, Surat Al-Falaq, Surat An-Nas, Ayat
Kursi dan do’a do’a yang lainnya
Keutamaan berdzikir yang disebut dalam berbagai
macam ayat yang berjumlah kurang lebih 54 ayat menegaskan bahwa aktivitas
dzikir merupakan akativitas yang sangat penting dan sangat dianjurkan oleh
Allah. pentingnya berdzikir juga
ditegaskan lagi oleh berbagai hadits Rasulullah yang sedikitnya berjumlah 40
hadits. Hal ini menunjukkan bahwa dzikir merupakan aktivitas keagamaan yang
mempuyai banyak keutamaan. Selain dipandang sebagai jalan untuk mendekatkan
diri kepada Allah, sarana berdo’a, secara normatif dzikir dapat pula dipakai
sebagai salah satu indikator utama dala dimensi keimanan seorang muslim. Karena
itu, tidak mengherankan jika dzikir akhirnya menjadi semacam tradisi keagamaan
yang dilaksanakan kaum muslimim dimana pun ia berada.
Adanya tradisi semacam itu, menjadi dasar
berkembangnya pola atau model-model dzikir di kalangan umat Islam di Indonesia.
Pola-pola aktivitas dzikir tersebut kemudian dikenal dengan istilah tahlil atau tahlilan. Berkembangnya tahlil sebagai menifestasi dari aplikasi
dzikir memang tidak akan lepas dari banyaknya firman Allah dan juga hadits Nabi
tentang besarnya keutamaan seorang muslim melakukan dzikir.
1.
Tahlil dalam Pandangan Muhammadiyah
Salah
satu misi utama didirikannya Muhammadiyah adalah berpangkal dari satu pendirian
sementara ulama pada waktu itu bahwa pintu ijtihad
telah tertutup. Adanya pendirian tersebut menyebabkan munculnya pemutlakan
pendapat ulama dan pemikiran umat Islam menjadi beku karena hanya mampu er-taklid. Doktrin yang dikembangkan
Muhammadiyah dalam bidang keagamaan adalah pelaksnaan hukum yang tertuang dalam
Qur’an dan Hadits secara murni dan konsekuen. Karena iyu, persoalan keagamaan
yang tercampuri budaya dan bukan merupakan satu tradisi kenabian dipandang
menyalahi hukum Islam. Dalam pandangannya, tradisi keagamaan yang berkembang di
Indonesia banyak yang mengalami reduksi dengan tradisi kebudayaan, seperti tahlil, manakiban, khaul, berzanji, dan
sebagainya.
Sebagaimana sudah dikenal, bahwa ajaran agama Muhammadiyah cenderung ingin
memurnikan syariat Islam (tajdid). Islam yang menyebar luas di Indonesia,
khususnya di jawa, tidak dipungkiri merupakan perjuangan dari para pendakwah
Islam pertama, di antaranya adalah Wali Sanga. Dalam menyebarkan agama Islam,
Walisanga menggunakan pendekatan kultural, yang mana tidak membuang keseluruhan
tradisi dan budaya Hindu dan Budha, dua ajaran yang menjadi mayoritas pada masa
itu, melainkan memasukkan ajaran-ajaran Islam ke dalam tradisi dan kepercayaan
Hindu Budha. Salah satu tradisi agama Hindu, yaitu ketika ada orang yang
meninggal adalah kembalinya ruh orang yang meninggal itu ke rumahnya pada hari
pertama, ketiga, ketujuh, empat puluh, seratus, dan seterusnya. Dari tradisi
itulah kemudian muncul tradisi yang kemudian dikenal dengan tahlil.
Muhammadiyah menganggap bahwa keberadaan tahlil pada
dasarnya tidak bisa dilepaskan dari tradisi tarekat. Ini bisa diketahui dari
terdapatnya gerak-gerak tertentu disertai pengaturan nafas untuk melafalkan
bacaan tahlil sebagai bagian dari metode mendekatkan diri pada Allah. Dari
tradisi tarekat inilah kemudian berkembang model-model tahlil atau tahlilan di
kalangan umat Islam Indonesia.
Muhammadiyah yang notabenenya mengaku masuk dalam
kalangan para pendukung gerakan Islam pembaharu (tajdid) yang berorientasi
kepada pemurnian ajaran Islam, sepakat memandang tahlilan orang yang meninggal
dunia sebagai bid'ah yang harus ditinggalkan karena tidak ada tuntunannya dari
Rasulullah.
Esensi pokok tahlilan orang yang meninggal dunia
sebagai perbuatan bid'ah bukan terletak pada membaca kalimat la ilaha illallah, melainkan pada hal
pokok yang menyertai tahlil, yaitu;
1.
Mengirimkan bacaan ayat-ayat al-Qur'an kepada jenazah atau hadiah pahala
kepada orang yang meninggal,
2. Bacaan tahlil yang memakai pola tertentu dan dikaitkan dengan peristiwa tertentu.
Secara tegas rumusan pandangan muhammadiyah dalam
persoalan tahlil dapat dilihat dari salah tujuan didirikanya muhammadiyah
terutama dalam bidang pemurnian tauhid dan ibadah adalah sebagai berikut .
1.
Meniadakan kebiasaan
menuju bulanan ( tingkepan) slmtan bagi orang yang sedang hamil.
2. Membaca surat yasin yang diadakan pada setiap malam jumat
2.
Tahlil dalam Pandangan NU
Pandangan
NU tentang keberadaan tahlil memang
sangat bertolak belakang dengan pandangan Muhammadiyah. Jika Muhammadiyah
meletakkan tahlil sebagai perbuatan bid’ah
dan menyesatkan, sebaliknya NU justru menganjurkan. Implikasinya,
keberadaan tahlil bagii kaum nahdziyin (pengikut
NU) tidak hanya menjadi karakteristik tradisi keagamaan mereka, tetapi juga
menjadi salah satu identitas organisasi. Dikembangkannya tahlil sebagai salah
satu bagian dari dakwah Islamiyah NU, pada dasarnya tidak lepas dari paradigma
yang dipakai para ulama NU, yaitu mempertahankan
yang lama, yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik (al-muhafadhatu
alal-qodimis salih ma’al-akhdzi bil jadidil-ashlah). Dari beberapa tradisi
yang paling banyak dilakukan pengikut NU adalah tahlil. Meskipun pada awalnya
tahlil adalah salah satu jalan tasawuf yang
dikembangkan di pesantren, kenyataannya tahlil berkembang pesat melampuai
akivitas pesantren. Dengan kata lain, tahlil tidak lagi tradisi pesantren,
melainkan sudah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat NU.
Kaum
muslimin Nahdatul Ulama (NU) mengakui bahwa tahlilan tidak ada dalil yang
menguatkan dalam Al-Quran maupun hadis, namun kenapamereka masih melaksanakan
acara tahlilan tersebut karena kaum muslimin Nahdatul Ulama mempunyai pendapat
lain bahwa tahlilan dilaksanakan dikeluarga yang meninggal mempunyai
tujuan-tujuan tertentu di antaranyaadalah sebagai berikut :
1.Tahlilan
dilakukan untuk menyebar syiar islam, karena sebelum dilakukantahlilan seorang
imam melakukan ceramah keagamaan.
2.Isi
dari tahlilan adalah dzikir dando’a dengan kata lain melaksanakantahlilan
berarti mendo’a kan kepada yang meninggal dunia.
3.Menghibur
keluarga yang ditinggalkan dengan kata lain, kaum musliminyang berada di
sekitar rumah yang ditinggal, maka terjalinlah silaturahmidi antara umat islam.
Dari uraian tersebut di atas, bahwa kaum
muslimin Nahdatul Ulamawalaupun tidak ada dalil yang kuat di dalam Al-Quran dan
hadis namunmelakanakan acara tahlilan dengan tujuan yang baik dan tidak
menyimpangdari hadis-hadis lainnya.
Biasanya acara tahlil
dilaksanakan sejak malam pertama orang meninggal sampai tujuh harinya. Lalu
dilanjutkan lagi apda hari ke -40, hari ke-100, dan hari ke-1000. Selanjtunya
dilakukan setiap tahun dengan nama khol atau haul, yang waktunya tepat pada
hari kematiannya.
Setelah pembacaan doa biasanya
tuan rumah menghidangkan makanan dan minuman kepada para jamaah. Kadang masih
ditambah dengan berkat (buah tangan berbentuk makanan matang). Pada
perkembangannya di beberapa daerah ada yang mengganti berkat, bukan lagi dengan makanan matang, tetapi dengan bahan-bahan
makanan, seperti mie, beras, gula, the, telur, dan lain-lain. Semua itu
diberikan sebagai sedekah, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah
meninggal dunia tersebut. Sekaligus sebagai manifestasi rasa dinta yang
mendalam baginya.
Dalam menjelaskan masalah
tahlil, H.M.Cholil Nafis, tokoh
pembesar NU, menjelaskan pula sejarah tahlil, sebelum memberikan dasar-dasar
dibolehkannya tahlil. Menurutnya, berkumpulnya orang-orang untuk
tahlilan pada mulanya ditradisikan oleh Wali Songo (sembilan pejuang Islam di
tanah Jawa). Seperti yang telah kita ketahui, di antara yang paling berjasa
menyebarkan ajaran Islam di Indonesia adalah Wali Songo. Keberhasilan dakwah
Wali Songo ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode
kultural atau budaya.
Wali Songo tidak secara
frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun
membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam.
Dalam tradisi lama, bila ada
orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka
bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau
mabuk-mabukan. Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut,
tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan
mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti pengertian di atas tidak
dikenal sebelum Wali Songo..
Mari kita lihat perspektif
Ulama NU tentang dua hikmah tahlil tersebut.
Bahwa dalam tahlil terdapat
aspek ibadah sosial, khususnya tahlil yang dilakukan secara berjamaah. Dalam
tahlil, sesama muslil akan berkumpul sehingga tercipta hubungan silaturrahmi di
antara mereka. Selain itu, dibagikannya berkat,
sedekah berupa makanan atau bahan makanan, juga merupakan bagian dari
ibadah sosial.
Demikianlah pendapat NU
mengenai tahlil, yang intinya tahlil tidak bertentangan dengan syariat. Karena
dengan seseorang mengikuti tahlilan, baik sendiri-sendiri, berjamaah, dalam
acara haul atau tidak, maka mereka menjadi berdzikir dengan mengalunkan kalimah
syahadah, juga membaca ayat suci al-Qur’an serta bacaan dzikir yang lain, yang
semua itu tidak lain sebagai cara istighatsah kepada Allah agar doanya diterima
untuk mayit.
SIMPULAN
Adanya perbedaan paham mengenai keberadaan
tahlil inilah yang kemudian memicu munculnya berbagi ketegangan antara penganut
NU dan Muhammadiyah. Dengan demikian, dapat disebutkan bahwa salah satu sumber
konflik antara Muhammadiyah dengan NU di antaranya adalah masalah tahlil.
Zainuddin fananie.2001. konflik masarakat muslim muhammadiah dan NU. Surakarta: ums pers 201
Semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu muhammadiyah-seputar_1302.html
0 Response to "SUMBER KONFLIK MASYARAKAT MUSLIM DALAM MUHAMMADIYAH DAN NU PERSPEKTIF KEBERTRIMAAN TAHLIL"
Posting Komentar